Diberdayakan oleh Blogger.
Foto saya
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
RSS

C. PEMBAHASAN 1. Pengertian Hiwalah Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Maka Abdurrahman al-Jaziri , berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah: النّقل من محلّ إلى محل Artinya: “Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.” Sedangkan pengertian hiwalah secara istilah, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya , antara lain sebagai berikut: 1. menurut Idris Ahmad, hiwalah adalah semacam akad (ijab Kabul) pemindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkanya. 2. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah: نقل المطالبة من ذمة المديون الى ذمة الملتزم Artinya :“memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang, kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula” 3. Al-Jaziri sendiri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah ialah: نقل الدين من ذمة الى ذمة Artinya :“pernikahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain” 4. Syihab Al-Din Al-Qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah ialah: عقد يقتضى انتقال دين من ذمة الى ذمة Artinya :“akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain” 5. Ibrahim Al-Bajuri berpendapat bahwa hiwalah ialah: نقل الحق من ذمة المحيل الى ذمة المحال عليه Artinya:“pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan” 6. Menurut Taqiyuddin yang dimaksud dengan hiwalah ialah: انتقال الدين من ذمة الى ذمة Artinya :“pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain” 7. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hiwalah ialah pemindahan dari tanggungan muhil menjadi tanggungan muhal ‘alaih” 8. Menurut Syatha’ al-Dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud hiwalah ialah: عقد يقتضي تحويل دين من ذمة الى ذمة Artinya :“akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seorang menjadi beban orang lain” Secara istilah hiwalah adalah akad mengalihkan tanggung jawab membayar hutang dari seseorang kepada orang lain. Ini boleh dilakukan untuk suatu kepentingan. Misalnya A mempunyai hutang kepada B sebesar Rp.50.000 dan A juga mempunyai piutang kepada C Rp.50.000. Kewajiban A untuk membayar hutangnya kepada B dialihkan kepada C. 2. Rukun dan Syarat Hiwalah Asal di syariatkan hiwalah, sebagaimna hadist yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim dari abu hurairah : sesungguhnya rasulullah SAW. bersabda : مطل الغني ظلم فاذا أحىل أحدكم علي ملىء فليحتل... (رواه احمد و البيهقى) “Orang yang mampu membayar utang, haram atasnya melalaikan utangnya. Maka apabila salah seorang diantara kamu memindahkan utangnya kepada orang lain, pemindahan itu hendaklah diterima, asalkan yang lain itu mampu membayar.” (HR. Ahmad dan Baihaq) Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu, ijab dan kabul yang dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah. Syarat-syarat hiwalah menurut Hanafiyah ialah: 1. Orang yang memindahkan utang (muhil) adalah orang yang berakal, maka batal hiwalah yang dilakukan muhil dalam keadaan gila atau masih kecil . 2. Orang yang menerima hiwalah (rah al-dayn) adalah orang yang berakal, maka batallah hiwalah yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal. 3. Orang yang dihiwalahkan (mahal ‘alah) juga harus berakal dan disyaratkan pula dia meridhainya. 4. Adanya piutang muhil kepada muhal alaih . Menurut Syafi’iyyah, rukun hiwalah itu ada empat, sebagai berikut: 1. Muhil, yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan utang. 2. Muhal, yaitu orang yang dihiwalahkan atau orang yang mempunyai utang kepada Muhil. 3. Muhal ‘alaih, yaitu orang yang menerima hiwalah 4. Shighat hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya: “Aku hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada anu” dan Kabul dari muhtal dengan kata-katanya. “Aku terima hiwalah engkau” Sementara itu, syarat-syarat hiwalah menurut Sayyid Sabiq adalah sebagai berikut: 1) Relanya pihak muhil dan muhal, jadi yang harus rela itu muhil dan muhal. Bagi muhal ‘alaih rela maupun tidak rela, tidak akan mempengaruhi kesalahan hiwalah. Ada juga yang mengatakan bahwa muhal tidak disyaratkan rela, yang harus rela adalah muhil, hal ini karena Rasul telah bersabda : إذاأحيل احدكم على مليء فليتبع “ Dan jika salah seorang diantara kamu dihiwalahkan kepada orang yang kaya, maka terimalah.” 2) Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas, dan kuantitasnya. 3) Stabilnya muhal ‘alaih, maka penghiwalahkan kepada seorang yang tidak mampu membayar utang adalah batal. 4) Hak tersebut diketahui secara jelas. 3. Beban Muhil Setelah Hiwalah Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur. Menurut Mazhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih adalah orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apa pun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut Imam Malik, orang yang menghiwalahkan utang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil. Sedangkan Abu Hanifah, Syarih, dan Utsman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka orang yang mengutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya Mazhab Hanafiyah membagi Hiwalah kepada 2 macam, yaitu: a) Al-Hiwalah al-Muqayyadah (Pemindahan Bersyarat) Yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran utang dari pihak pertama kepada pihak kedua. Contoh: Samkhun berpiutang kepada Isman sebesar satu juta rupiah, sedangkan Isman juga berpiutang pada Fahmi satu juta rupiah. Isman kemudian memindahkan haknya untuk menagih piutangnya yang terdapat pada Fahmi, kepada Samkhun. b) Al-Hiwalah al-Muthlaqah (Pemindahan Mutlak) Yaitu pemindahan yang tidak ditegaskan sebagai ganti pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua. Contoh: Isman berutang kepada Samkhun sebesar satu juta rupiah. Karena Fahmi juga berhutang kepada Isman sebesar satu rupiah. Isman mengalihkan utangnya kepada Fahmi sehingga Fahmi berkewajiban membayar utang Isman kepada Samkhun, tanpa menyebutkan bahwa pemindahan utang itu sebagai ganti utang Fahmi kepada Isman. 4. Pengalihan hutang kepada lembaga Bank Penerapan pengambilalihan Take Over dengan akad murabahah di bank syari’ah berdasarkan undang-undang no 21 tahun 2008 tentang perbankan syari’ah dan kitab KUHPer Buku III. Peralihan utang dalam hukum Islam tidak diatur secara tersurat dalam Al-qur’an dan al-Hadits, tetapi hal ini diatur berdasarkan ijtihad atau fatwa yang dikeluarkan oleh majelis ulama Indonesia. Berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.31/DSN-MUI/VI/2002. Tentang pengalihan hutang atau take over diperbolehkan dalam hukum Islam dengan kata lain hukumnya tidak haram. Dalam KUHPerdata Pengalihan hak secara resmi disebut dengan novasi yang dimaksud dengan novasi adalah penggantian perikatan lama dengan suatu perikatan novasi diatur dalam bab IV butir IV KUHPer yang mengatur tentang hapusnya perikatan . Berikut ini fatwa tentang pengalihan hutang sebagai berikut : Fatwa tentang pengalihan hutang Ketentuan Umum a. Pengalihan utang adalah pemindahan utang nasabah dari bank/lembaga keuangan konvensional ke bank/lembaga keuangan syariah; b. Al-Qardh adalah akad pinjaman dari LKS kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan pokok pinjaman yang diterimanya kepada LKS pada waktu dan dengan cara pengembalian yang telah disepakati. c. Nasabah adalah (calon) nasabah LKS yang mempunyai kredit (utang) kepada Lembaga Keuangan Konvensional (LKK) untuk pembelian asset, yang ingin mengalihkan utangnya ke LKS. d. Aset adalah aset nasabah yang dibelinya melalui kredit dari LKK dan belum lunas pembayan kreditnya. Ketentuan Aqad Akad dapat dilakukan melalui empat alternatif berikut: • Alternatif I 1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (utang)-nya; dan dengan demikian, aset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh. 2. Nasabah menjual aset dimaksud angka 1 kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS. 3. LKS menjual secara murabahah aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan. 4. Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh dan Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Utang sebagaimana dimaksud alternatif I ini • Alternatif II 1. LKS membeli sebagian aset nasabah, dengan seizin LKK; sehingga dengan demikian, terjadilah syirkah al-milk antara LKS dan nasabah terhadap asset tersebut. 2. Bagian asset yang dibeli oleh LKS sebagaimana dimaksud angka 1 adalah bagian asset yang senilai dengan utang (sisa cicilan) nasabah kepada LKK. 3. LKS menjual secara murabahah bagian asset yang menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan. 4. Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Utang sebagaimana dimaksud dalam alternatif II ini. • Alternatif III 1. Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh atas aset, nasabah dapat melakukan akad Ijarah dengan LKS, sesuai dengan Fatwa DSN-MUI nomor 09/DSN-MUI/IV/2002. 2. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi kewajiban nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001. 3. Akad Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh dipersyaratkan dengan (harus terpisah dari) pemberian talangan sebagaimana dimaksudkan angka 2. 4. Besar imbalan jasa Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan yang diberikan LKS kepada nasabah sebagaimana dimaksudkan angka 2. • Alternatif IV 1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (utang)-nya; dan dengan demikian, asset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh. 2. Nasabah menjual aset dimaksud angka 1 kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS. 3. LKS menyewakan asset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik. 4. Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh dan Fatwa DSN nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Utang sebagaimana dimaksud dalam alternatif IV ini. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. D. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas, maka selanjutnya penulis akan menyimpulkan sebagai jawaban akhir dari pokok-pokok permasalahan yang di angkat penulis, kesimpulannya sebagai berikut: 1. Hawalah adalah akad mengalihkan tanggung jawab membayar hutang dari seseorang kepada orang lain. Ini boleh dilakukan untuk suatu kepentingan. Misalnya A mempunyai hutang kepada B sebesar Rp.50.000 dan A juga mempunyai piutang kepada C Rp.50.000 atau lebih. Kewajiban A untuk membayar hutangnya kepada B dialihkan kepada C. 2. Menurut Jumhur ulama yang terdiri dari malikiyah,syafiiyah dan hanabilah, rukun hiwalah terdiri ada 6 yaitu: a. Pihak pertama b. Pihak kedua c. Pihak ketiga d. Utang pihak pertama kepada pihak kedua e. Utang pihak ketiga kepada pihak pertama f. Shigat (pernyataan hawalah) 3. Beban muhil setelah hiwalah apabila hiwalahnya berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur 4. Pengalihan utang adalah pemindahan utang nasabah dari bank/lembaga keuangan konvensional ke bank/lembaga keuangan syariah, pinjaman dari LKS kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan pokok pinjaman yang diterimanya kepada LKS pada waktu dan dengan cara pengembalian yang telah disepakati. Pembahasan A. arti landasan dan pengertian syirkah Pengertian syirkah Secara etimologi, syirkah atau perkongsian berarti : الاختلاط اى خلط احد المالين بالاخربحيث لا يمتزان عن بعضهما Artinya :percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dari dua harta dengan harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya. Menurut terminology, ulama fiqih beragam pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain : Menurut malikiyah : “perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharuf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama sama oleh keduanya, namun masing masing memiliki hak untuk bertasharruf.” Menurut hanabilah : “perhimpunan adalah hak (kewenangan) atau pengolahan harta (tasharruf ).” Menurut syafi’iyah : “ketetapan pada sesuatu yang dimiliki dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui).” Menurut hanafiyah : ”ungkapan tentang adanya transaksi (akad) antara dua orang yang bersekutu pada pokok harta dan keuntungan.” Landasan syirkah Landasan syirkah (perseroan) tersdapat dalam al-qur’an, al-hadits dan ijma’, berikut ini. A). Al-qur’an فهم شركاءفي الثلث (النساء : ١٢) Artinya : Mereka bersekutu dalam yang sepertiga.” b). As-sunah عن ابي هريرة رفعه إلى النبى ص.م. قال : انّ الله عزّ وجلّ يقول: انا ثالث السريكين ما لم يخن احد هما صاحبه فاذاخانه خرچت من بينهما (رواه ابوداوالحاكم وصححه اسناده) artinya : dari abu hurairah yang dirafa’kan kepada nabi SAW, bahwa Nabi SAW,”sesungguhnya Allah SWT. Berfirman,”aku adalah yang ketiga pada dua orang yang bersekutu, selama salah seorang dari keduanya tidak menghianati temannya, aku akan keluar dari persekutuan tersebut apabila salah seorang menghianatinya.” (HR. Abu Dawud dan Hakim dan menyahihkan sanadnya). C). al ijma’ Umat islam sepakat bahwa ijma’ dibolehkan, hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang jenisnya Pembagian perkongsian Berikut adalah bagan tentang pembagian syirkah / perkongsian. perkongsian amlak p. sukarela (ikhtiar) p. paksaan (ijbar) uqud Ulama hanafiyah (‘inan, mufawidhah,abdan, wujuh,mudhorobah) Ulama hanafiyah (amwal, a’mal, wujuh) Syafi’I&maliki (‘inan, mufawidhah,abdan, wuduh) Ulama fiqih sepakat bahwa perkongsian I’nan dibolehkan, sedangkan bentuk-bentuk lainnya masih diperselisihkan. Ulama syafi’iyah, zhahiriyah, dan imamiyah menganggap semua bentuk perkongisian selain I’nan dan mudharabah adalah batal. Ulama hanabilah membolehkan semua bentuk perkongsian sebagaimana yang disebutkan oleh ulama hanafiyah, diatas, kecuali perkongsian wujuh dan mufawidah. Ulama hanafiyah dan zaidiyah membolehkan semua bentuk perkongsian yang enam diatas apabila sesuai dengan syarat syaratnya. Perkongsian amlak, adalah dua orang atau lebih yang memiliki barang tanpa adanya akad, terbagi menjadi dua : perkongsian sukarela (ikhtiyar), adalah perkongsian yang muncul karena adanya kontrak dari dua orang yang bersekutu. perkongsian paksaan (ijbar), adalah perkongsian yang ditetapkan kepada dua orang atau lebih yang bukan didasarkan atas perbuatan keduanya. B. metode transaksi syirkah ‘uqud Menurut ulama hanfiyah, rukun syirkah ‘uqud adalah ijab dan qabul, sedangkan rukun perseroan menurut jumhur ada tiga, yaitu ‘aqidan (dua orang yang akad), ma’qud alaih (harta/laba), dan shighat. Pengertian syirkah harta Perkongsian harta adalah dua orang yang bersekutu dalam harta, dan menyatakan bersekutu dalam menjual dan membeli secara bersama-sama, atau mereka memutlak- mutlakan bentuk kerja sama diantara keduanya. Perkongsian terbagi atas beberapa bentuk, perkongsian ‘inan adalah persekutuan antara dua orang dalam harta milik untuk berdagang secara bersama sama, dan membagi laba atau kerugian bersama-sama. perkongsian mufawidhah arti dari mufawidhah menurut bahasa adalah persamaan, dinamakan mufawidhah antara lain harus ada kesamaan dalam modal, keuntungan serta bentuk kerja sama lainnya. Menurut isltilah perkongsian mufawidhah adalah transaksi dua orang atau lebih untuk berserikat dengan syarat memiliki kesamaan dalam jumlah modal, penuntuan keuntungan, pengolahan, serta agama yang di anut. perkongsian wujuh perkongsian wujuh adalah bersekutunya dua pemimpin dalam pandangan masyarakat tanpa modal, untuk membeli barang secara tidak kontan, kemudian keuntungan yang diperoleh diantara mereka dengan syarat tertentu. Penamaan wujuh karena tidak terjadi jual beli secara tidak kontan jika keduanya tidak dianggap pemimpin dalam pandangan manusia secara adat. Perkongsian inipun dikenal sebagai bentuk perkongsian karena adanya tanggung jawab bukan karena modal atau pekerjaan. perkongsian a’mal atau abdan perkongsian a’mal adalah persekutuan dua orang untuk menerima suatu pekerjaan yang akan akan dikerjakan secara bersama sama, kemudian keuntungan di bagi diantara keduanya dengan menetapkan persyaratan tertentu, perkongsian ini disebut juga dengan perkongsian shana’I dan taqabbul c. syarat syirkah ‘uqud menurut ulama hanafiyah syarat syirkah ‘uqud terdiri atas dua macam, yaitu syarat ‘am (umum) dan syarat khas(khusus). 1. syarat umum syirkah ‘uqud dapat dipandang sebagai perwakilan. Ada kejelasan dalam pembagian keuntungan. Laba merupakan bagian (juz) umum dari jumlah. 2. syarat khusus pada syirkah amwal modal syirkah harus ada dan jelas. Modal harus bernilai atau berharga. 3. syarat syirkah mufawidhah setiap aqid harus ahli dalam perwakilan dan jaminan. Ada kesamaan modal dari segi ukuran, harga awal dan akhir. Apapun yang pantas menjadi modal dari salah seorang yang bersekutu dimasukan dalam perkongsian. Ada kesamaan dalam pembagian keuntungan. Ada kesamaan dalam berdagang. Pada transaksi (akad) harus menggunakan kata mufawidhah 4. syarat syirkah a’mal Jika syirkah a’mal ini berbentuk mufawidhah, harus memenuhi persyaratan mufawidhah diatas, hanya disyaratkan ahli dalam perwakilan saja. Menurut ulama hanafiyah, setiap yang sah menjadi wakil, sah pula berserikat. 5. syarat syirkah wujuh Apakah syirkah ini berbentuk mufawidhah, hendaknya yang bersekutu itu ahli dalam memberikan jaminan, dan masing masing harus memiliki setengah harga yang dibeli. Selain itu, keuntungan dibagi dua dan ketika akad harus menggunakan kata mufawidhah Jika syirkah berbentuk I’nan, tidak disyaratkan harus memenuhi persyaratan diatas, dan dibolehkan salah seorang aqid melebihi yang lain. Hanya saja, keuntungan harus didasarkan pada kadar tanggungan, jika memminta lebih akad batal. D. Hukum (ketetapan) syirkah I’nan amwal hukum syirkah ‘uqud terbagi dua, shohih dan fasid perkongsian dikatakan fasid (rusak) apabila tidak memenuhi persyaratan keshahihannya. E. sifat akad perkongsian dan kewenangan 1. hukum kepastian (luzum) syirkah Kebanyakan ulama fiqih berpendapat bahwa akad syirkah dibolehkan, tetapi tidak lazim. Oleh karena itu, salah seorang yang bersekutu dibolhkan membatalakan akad atas sepengetahuan rekannya untuk menghindari kemadlaratan. 2. kewenangan syarik (yang berserikat) Para ahli fiqih sepakat bahwa kewenangan syarik perkongsian adalah amanah, seperti dalam titipan, karena memegang atau menyerahkan harta atas izin rekannya. F. hal yang membatalkan syirkah 1. pembatalan syirkah secara umum pembatalan dari salah seorang yang bersekutu meninggalnya salah seorang syarik salah seorang syarik murtad atau membelot ketika perang gila 2. pembatalan syirkah secara khusus harta syirkah rusak (syirkah amwal) tidak ada kesamaan modal (syirkah mufawidhah) bab III kesimpulan 1.syirkah adalah suatu perjanjian antara dua orang / lebih yang menghendaki tetapnya kerjasama dalam suatu usaha atau perdagangan. Secara garis besar perkongsian terbagi menjadi dua yaitu amlak (perkongsian ikhtiar dan ijbar) dan uqud yang terbagi menjadi beberapa macam menurut ulama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Ulama fiqih sepakat bahwa perkongsian ‘Inan dibolehkan sedangkan bentuk-bentuk lainnya masih diperselisihkan. Ulama syafi’iyah, zahiriyah, dan imamiyah menganggap semua bentuk perkongsian selain I’nan dan mudharabah adalah batal Ulama hanabilah membolehkan semua bentuk perkongsian sebagaimana yang disebutkan ulama hanafiyah diatas, kecuali perkongsian wujuh dan mufawidhah. Ulamal hanafiyah dan zaidiyah membolehkan semua bentuk perkongsian yang enam apabila sesuai dengan syarat-syaratnya EMBAHASAN A. Pengertian Al-Ijarah berasal dari kata al-Ajru yang berarti Al’lwadhu (ganti). Dari sebab itu Ats Tsawab (pahala) dinamai Ajru (upah).[1] Menurut pengertian Syara’, Al-Ijarah ialah: Urusan sewa menyewa yang jelas manfaat dan tujuanya, dapat diserah terimakan, boleh dengan ganti (upah) yang telah diketahui (gajian tertentu).[2]Seperti halnya barang itu harus bermanfaat, misalkan: rumah untuk ditempati, mobil untuk dinaiki. Pemilik yang menyewakan manfaat disebut Mu’ajjir (orang yang menyawakan). Pihak lain yang memberikan sewa disebut Musta’jir ( orang yang menyawa = penyewa). Dan, sesuatu yang di akadkan untuk diambil manfaatnya disebut Ma’jur ( Sewaan). Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan manfaat disebut Ajran atau Ujrah (upah). Dan setelah terjadi akad Ijarah telah berlangsung orang yang menyewakan berhak mengambil upah, dan orang yang menyewa berhak mengambil manfaat, akad ini disebut pula Mu’addhah (penggantian.[3] B. Dasar Hukum Dasar –dasar hukum atau rujukan Ijarah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Al-Ijma’. 1. Dasar hukum Ijarah dalam Al-Qur’an adalah : فا ن ارضعن لكم فاء توهن اجو رهن ( ا لطلاق : 6) “Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah upahnya.”(Al-Talaq: 6). 2. Dasar Hukun Ijarah Dari Al-Hadits: ( هريرةأبيعنالرزاقعبدرواه )اَجْرَهُفَلْيَعْمَلْجِيْرًااَجَرَاسْتَأْمَنِ “Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah upahnya.” (HR. Abdul Razaqdari Abu Hurairah). 3. Landasan Ijma’nya ialah: Umat islam pada masa sahabat telah ber ijma’ bahwa ijarah diperbolehkan sebab bermanfaat bagi manusia. .[4] C. Rukun Ijarah Menurut ulama Hanafiyah, rukun Ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’, dan al-ikra. Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijaraha da 4, yaitu: 1. Aqid (orang yang akad). 2. Shigat akad. 3. Ujrah (upah). 4. Manfaat. D. Syarat Sah Ijarah Ada 5 syarat sah dari ijarah, diantaranya: 1.Kerelaan dari dua pihak yang melakukan akad ijarah tersebut, 2. Mengetahui manfaat dengan sempurna barang yang diakadkan, sehingga mencegah terjadinya perselisahan, 3. Kegunaannya dari barang tersebut, 4. Kemanfaatan benda dibolehkan menurutsyara’, 5. Objek transaksi akad itu (barangnya) dapat dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria, dan realita.[5] E. Pembagian dan Hukum Ijarah Ijarah terbagi menjadi dua, yaitu ijarah terhadap benda atau sewa-menyewa, dan ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah. 1. Hukum sewa-menyewa Dibolehkan ijarah atas barang mubah, seperti: rumah, kamar, dan lain-lain. Tetapi dilarang ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan. a) Ketetapan Hukum Akad dalam Ijarah Menurut ulama Hanafiyah, ketetapan akad ijarah adalah kemanfaatan yang sifatnya mubah.Menurut ulama Malikiyah, hokum ijarah sesuai dengan keberadaan manfaat. Ulama Hanabilah danS yafi’iyah berpendapat bahwa hukum ijarah tetap pada keadaannya, dan hukum tersebut menjadikan masa sewa seperti benda yang tampak. b) Cara Memanfaatkan BarangSewaan 1) Sewa Rumah Jika seseorang menyewa rumah dibolehkan untuk memanfaatkannya sesuai kemauannya, baik dimanfaatkan sendiri atau dengan orang orang lain, bahkan boleh disewakan lagi atau dipinjamkan pada orang lain. 2) Sewa Tanah Sewa tanah diharuskan untuk menjelaskan tanaman apa yang akan ditanam atau bangunan apa yang akand idirikan di atasnya. Jika tidak dijelaskan ijarah dipandang rusak. 3) Sewa kendaraan Dalam menyewa kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya harus dijelaskan salah satu diantara dua hal, yaitu waktu dan tempat. Juga harus dijelaskan barang yang akan dibawa atau benda yang akan diangkut. c) Perbaikan Barang Sewaan Menurut ulama Hanafiyah, jika barang yang disewakan rusak, pemiliknyalah yang berkewajiban memmperbaikinya, tetapi ia tidak boleh dipaksa. Apabila penyewa bersedia memperbaikinya, ia tidak diberikan upah sebab dianggap sukarela. Adapun hal-hal kecil seperti membersihkan sampah atau tanah merupakan kewajiban penyewa. d) Kewajiban Penyewa Setelah Habis Masa Sewa 1) Menyeahkan kunci jika yang disewa rumah 2) Jika yang disewa kendaraan, ia harus menyimpannya kembali di tempat asalnya 2. Hukum Upah-Mengupah Upah-mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual-beli jasa. Biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al a’mal, terbagi dua, yaitu: a) Ijarah Khusus Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah. b) Ijarah Musytarik Yaitu ijarah dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja-sama. Hukumnya dibolehkan bekerja-sama dengan orang lain.[6] F. Hak Menerima Upah 1) Selesai bekerja Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa Rasulullah SAW, bersabda: (عمرابيعنماجهابنرواه)عَرَقُهُيَجِفَّاَنْقَبْلَاَجْرَهُاْلاَجِيْرَاُعْطُوْا “Berikanlah olehmu upah orang bayaran sebelum keringatnya kering.”[7] 2) Mengalirnya manfaat, jika ijarah untuk barang Karena apabila dalam suatu barang itu telah terjadi kerusakan maka akad ijarah itupun batal. 3) Memungkinkan mengalirnya manfaat jika masanya berlasung. 4) Mempercepat dalam bentuk akad ijarah (bayaran). G. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah Ijarah adalah jenis akad lazim, yang salah satu pihak yang berakad tidak memiliki hak fasakh, karena ia merupakan akad pertukaran, kecuali didapati hal yang mewajibkan fasakh. Seperti di bawah ini: 1) Terjadi aib terhadap barang sewaan yang kejadiannya di tangan penyewa atau terlihat aib lama padanya. 2) Rusakny abarang yang disewakan. 3) Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, atau selesainya pekerjaan, atau berakhirnya masa, kecuali jika terdapat uzur yang mencegah fasakh.[8] PEMBAHASAN A. Pengertian Jual Beli Jual beli dalam bahasa arab disebut ba’i yang secara bahasa adalah tukar menukar[1], sedangkan menurut istilah adalah tukar menukar atau peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk yang diperbolehkan oleh syara’[2] atau menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas kerelaan kedua belah pihak.[3] Hukum melakukan jual beli adalah boleh (جواز) atau (مباح), sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275: وأحل الله البيع وحرم الربا Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba dan hadist Nabi yang berasal dari Rufa’ah bin Rafi’ menurut riwayat al- Bazar yang disahkan oleh al-Hakim: أن النبى صلى الله عليه وسلم سئل أى الكسب أطيب قال عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW, pernah ditanya tentang usaha apa yang paling baik; nabi berkata: “Usaha seseorang dengan tangannya dan jual beli yang mabrur”. Hikmah diperbolehkannya jual beli adalah menghindarkan manusia dari kesulitan dalam bermu’amalah.[4] B. Rukun Jual Beli 1. Adanya ‘aqid (عاقد) yaitu penjual dan pembeli. 2. Adanya ma’qud ‘alaih (معقود عليه) yaitu adanya harta (uang) dan barang yang dijual. 3. Adanya sighat (صيغة) yaitu adanya ijab dan qobul. Ijab adalah penyerahan penjual kepada pembeli sedangkan qobul adalah penerimaan dari pihak pembeli.[5] C. Syarat-Syarat Jual Beli 1. Syarat bagi (عاقد) orang yang melakukan akad antara lain: a) Baligh (berakal) Allah SWT berfirman: وَلاتُؤْتُوْا السّفَهَاء اَمْوَالَـكُمُ الّتِى جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا... (النساء: ٥) “Dan janganlah kamu berikan hartamu itu kepada orang yang bodoh (belum sempurna akalnya) harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (Q.S. an-Nisa: 5) Ayat diatas menunjukkan bahwa orang yang bukan ahli tasaruf tidak boleh melakukan jual beli dan melakukan akad (ijab qobul). b) Beragama islam, hal ini berlaku untuk pembeli (kitab suci al-Qur’an/budak muslim) bukan penjual, hal ini dijadikan syarat karena dihawatirkan jika orang yang membeli adalah orang kafir, maka mereka akan merendahkan atau menghina islam dan kaum muslimin.[6] c) Tidak dipaksa[7] 2. Syarat (معقود عليه) barang yang diperjualbelikan antara lain: a) Suci atau mungkin disucikan, tidak sah menjual barang yang najis, seperti anjing, babi dan lain-lain. Dalam hadist disebutkan : عن جابر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إن الله ورسوله حرّم بيع الخمر والخنزير ولأصنام (رواه البخارى ومسلم) “Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah SAW. bersabda, ‘sesungguhnya Allah dan Rasul telah mengharamkan jual beli arak, bangkai, babi, dan berhala.” (H.R. Bukhari dan Muslim) b) Bermanfaat c) Dapat diserahkan secara cepat atau lambat d) Milik sendiri e) Diketahui (dilihat). Barang yang diperjualbelikan itu harus diketahui banyak, berat, atau jenisnya. Dalam sebuah hadist disebutkan: عن أبى هريرة رضي الله عنه قال :نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الحصاة وعن بيع الغرر (رواه مسلم) “Dari Abi Hurairah r.a. ia berkata, : Rasulullah SAW. telah melarang jual beli dengan cara melempar batu dan jual beli yang mengandung tipuan.” (H.R. Muslim) 3. Syarat sah ijab qobul: a) Tidak ada yang membatasi (memisahkan). Si pembeli tidak boleh diam saja setelah si penjual menyatakan ijab, atau sebaliknya. b) Tidak diselingi kata-kata lain c) Tidak dita’likkan (digantungkan) dengan hal lain. Misal, jika bapakku mati, maka barang ini aku jual padamu. d) Tidak dibatasi waktu. Misal, barang ini aku jual padamu satu bulan saja.[8] D. Macam-Macam Jual Beli Jual Beli ada tiga macam yaitu: 1. Menjual barang yang bisa dilihat: Hukumnya boleh/sah jika barang yang dijual suci, bermanfaat dan memenuhi rukun jual beli. 2. Menjual barang yang disifati (memesan barang): Hukumnya boleh/sah jika barang yang dijual sesuai dengan sifatnya (sesuai promo). 3. Menjual barang yang tidak kelihatan: Hukumnya tidak boleh/tidak sah. Boleh/sah menjual sesuatu yang suci dan bermanfaat dan tidak diperbolehkan/tidak sah menjual sesuatu yang najis dan tidak bermanfaat.[9] E. Macam-Macam Jual Beli Yang Terlarang 1. Jual beli gharar Adalah jual beli yang mengandung unsur penipuan dan penghianatan. Hadist Nabi dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh Muslim: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الحصاة وعن بيع الغرر. 2. Jual beli mulaqih (الملاقيح) Adalah jual beli dimana barang yang dijual berupa hewan yang masih dalam bibit jantan sebelum bersetubuh dengan betina. Hadist dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Bazzar: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع المضامين والملاقيح 3. Jual beli mudhamin (المضامين) Adalah jual beli hewan yang masih dalam perut induknya, 4. Jual beli muhaqolah (المحاقلة) Adalah jual beli buah buahan yang masih ada di tangkainya dan belum layak untuk dimakan. 5. Jual beli munabadzah (المنابذة) Adalah tukar menukar kurma basah dengan kurma kering dan tukar menukar anggur basah dengan anggur kering dengan menggunakan alat ukur takaran. 6. Jual beli mukhabarah (المخابرة) Adalah muamalah dengan penggunaan tanah dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkan oleh tanah tersebut. 7. Jual beli tsunaya (الثنيا) Adalah jual beli dengan harga tertentu, sedangkan barang yang menjadi objek jual beli adalah sejumlah barang dengan pengecualian yang tidak jelas. 8. Jual beli ‘asb al-fahl (عسب الفحل) Adalah memperjual-belikan bibit pejantan hewan untuk dibiakkan dalam rahim hewan betina untuk mendapatkan anak. 9. Jual beli mulamasah (الملامسة) Adalah jual beli antara dua pihak, yang satu diantaranya menyentuh pakaian pihak lain yang diperjual-belikan waktu malam atau siang. 10. Jual beli munabadzah (المنابذة) Adalah jual beli dengan melemparkan apa yang ada padanya ke pihak lain tanpa mengetahui kualitas dan kuantitas dari barang yang dijadikan objek jual beli. 11. Jual beli ‘urban (العربان) Adalah jual beli atas suatu barang dengan harga tertentu, dimana pembeli memberikan uang muka dengan catatan bahwa bila jual beli jadi dilangsungkan akan membayar dengan harga yang telah disepakati, namun kalau tidak jadi, uang muka untuk penjual yang telah menerimanya terlebih dahulu. 12. Jual beli talqi rukban (الركبان) Adalah jual beli setelah pembeli datang menyongsong penjual sebelum ia sampai di pasar dan mengetahui harga pasaran. 13. Jual beli orang kota dengan orang desa (بيع حاضر لباد) Adalah orang kota yang sudah tahu harga pasaran menjual barangnya pada orang desa yang baru datang dan belum mengetahui harga pasaran. 14. Jual beli musharrah (المصرة) Musharrah adalah nama hewan ternak yang diikat puting susunya sehingga kelihatan susunya banyak, hal ini dilakukan agar harganya lebih tinggi. 15. Jual beli shubrah (الصبرة) Adalah jual beli barang yang ditumpuk yang mana bagian luar terlihat lebih baik dari bagian dalam. 16. Jual beli najasy (النجش) Jual beli yang bersifat pura-pura dimana si pembeli menaikkan harga barang , bukan untuk membelinya, tetapi untuk menipu pembeli lainnya agar membeli dengan harga yang tinggi.[10] F. Khiyar Khiyar adalah hak memilih bagi penjual dan pembeli untuk meneruskan jual belinya atau membatalkannya karena adanya suatu hal. G. Macam Khiyar 1. Khiyar Majlis Adalah hak memilih bagi penjual dan pembeli untuk meneruskan atau membatalkan akad selama masih berada di tempat akad dan kedua belah pihak belum berpisah. 2. Khiyar Syarat Khiyar syarat yaitu hak memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkannya dengan syarat tertentu 3. Khiyar ’Aib Khiyar ’aib yaitu hak memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkannya yang disebabkan karena adanya cacat pada barang yang dijual.[11]

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar